MENOLAK KEKERASAN DAN MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

A.      Pendahuluan.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar telah dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dengan sebuah kekayaan sumber daya alam yang sangat luar biasa dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Negara Indonesia yang merupakan negara kesatuan dalam bentuk kepulauan didiami oleh kurang lebih 330 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauka; dari Miangas sampai Pulau Rote menjadikan negara dan bangsa Indonesia menjadi satu-satunya negara yang kaya akan kebudayaan sehingga pantas disematkan semboyang pluralis dan multikultural dan rangkaian balutan bangsa yang berbhineka Tunggal Ika atau berbeda-beda tetapi tetap satu. Berbeda suku bangsa (enis), berbeda kepercayaan (agama), ras (Melayu dan Melanesia), dan golongan, tidak menjadi halangan untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat, harmonis, tentram, damai dan berkeadilan dalam satu ideologi Pancasila.
Bangsa Indonesia telah melewati berbagai liku-liku dan kerikil tajam dalam menapaki hari depan sebagai sebuah Negara dan Bangsa yang multikultur dan multi etnik dan sampai saat ini telah menapaki usia ke-71 tahun dengan berbagai tantangan dan rongrongan dari dalam maupun dari luar atas ideologi Pancasila yang menjadi falsafah dan pandangan hidup Negara Republik Indonesia. Namun kita patut bersyukur karena sampai saat ini, kekokohan dan ketegaran ideologi Pancasila sebagai payung bangsa Indonesia tidak tercabik-cabik oleh kelompok yang ingin menghancurkan keutuhan negara Indonesia.
Saat ini dalam memasuki babak baru kehidupan negara dan bangsa Indonesia yang berada pada iklim reformasi, demokrasi menjadi ujung tumbak dalam membangun bangsa dan negara Indonesia menuju cita-cita yang luhur yaitu mencapai kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Namun, tantangannya ternyata justru semakin mengemuka terutama isu-isu etnisitas, isu-isu agama, isu-isu perbedaan golongan, ketimpangan sosial, warna kulit, yang mengancam dan menggoyahkan keutuhan bangsa dan negara kesatuan Indonesia. Tindakan kekerasan atas nama etnis, anarkisme atas nama agama, pembungkaman kelompok kecil dalam kehidupan sosial budaya dan marginalisasi kaum minoritas oleh kaum mayoritas, multikultur yang sedang dikoyak dan dicabik menjadi ancaman serius dan laten yang terjadi di Indonesia sehingga perlu disikapi dengan bijak dan membutuhkan ketulusan dan kerendahan hati bahwa perbedaan tidak perlu dipersoalkan bahkan diruntuhkan akan tetapi perlu dihargai dan dihormati sehingga perbedaan itu menjadi kekuatan bangsa Indonesia untuk membangun negara dan bangsa yang kuat dan sejahtera.
Oleh sebab itu, sesuai dengan tugas matakuliah Etnisitas, Pluralisme dan Multikulturalisme ini, kelompok kami membahas dan mendiskusikan bagian dari buku Multikulturalisme pada bab 6 (enam) dan 7 (tujuh) yang mengurai tentang menolak kekerasan  dan Multikulturalisme di Indonesia.

B.       Pembahasan.
1.      Menolak Kekerasan.
Secara etomologi kekerasan dikaitkan dengan kata Inggris violence yang berasal dari bahasa latin vis (kekuatan, daya, kemauan) dan latus yang berasal dari kata ferre (membawa). Secara harfiah, bisa dikatakan bahwa kekerasan mengandung unsure membawa atau unjuk kekuatan. Kekerasan sering dianggap sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap orang atau binatang, termasuk serangan, pengrusakan, penghancuran secara kasar, kejam, dan ganas atas milik atau sesuatu yang berpotensi menjadi milik seseorang. Jadi kekerasan didefenisikan sebagai penyebab terjadinya kesenjangan antara hal yang potensial dan yang actual. Artinya, dalam kekerasan, sesuatu yang potensial tidak sampai teraktualisasi.
Menurut Thomas Hobbes Kekerasan itu sudah ada dalam diri manusia sejak dilahirkan. Manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Untuk mengatasi keadaan ini, perlu negara yang memiliki kekuatan terpusat (leviathan) supaya bisa mengatasi para serigala ini. Sedangkan Rousseau menganggap manusia pada awalnya netral, tidak bisa dikatakan baik atau jahat. Manusia pada dasarnya tidak egois dan altruis. Dia baru menjadi egois atau altruis setelah terpapar oleh rantai peradaban. Jadi, kekerasan manusia itu bukan bawaan sejak lahir, melainkan hasil dari paparannya dengan peradaban.
Hannah Arendt merujuk pada pemikiran Aristoteles yang membedakan perilaku manusia menjadi tiga: kerja, karya, dan tindakan. Kerja atau labor adalah bagian dari aktivitas manusia paling dasar yang dilakukan juga hewan. Di sini manusia tampil sebagai animal laborans. Kerja dilakukan untuk kelangsungan hidup. Karya adalah aktivitas yang hanya bisa dilakukan oleh dan khas manusia. Misalnya: pekerjaan sebagai tukang yang memproduksi sesuatu (homofaber). Disini, mulai ada ruang publik tempat dia bertemu dengan orang lain. Tindakan adalah aktivitas manusia yang paling tinggi yang harus dilakukan dalam kebersamaan (in concerto). Politik, misalnya, termasuk dalam tindakan, karena dalam politik orang harus melakukan kegiatan bersama dengan orang lain, berdialog, berunding, melakukan kesepakatan-kesepakatan, atau menentukan kebijakan-kebijakan untuk kebaikan bersama yang dilakukan dalam kebebasan.
Politik merupakan tindakan manusia yang paling tinggi, maka pada tingkatan ini, tidak bisa ada kekerasan dan manipulasi. Kerena dalam kegiatan politik, budaya, ekonomi, dan sosial, manusia berhadapan dengan sesamanya. Kekerasan dalam politik adalah hal yang paling kontradiktif karena politik mengandaikan kebebasan, sementara dalam kekerasan tidak ada kebebasan manusia itu sendiri.
Konflik dan kekerasan adalah dua hal yang berbeda, walaupun sering terjadi konflik disertai dengan kekerasan bukan berarti bahwa konflik identik dengan kekerasan. Hidup penuh dengan konflik, dan hidup adalah konflik.  Konflik harus dimaknai sebagai sebuah sarana untuk mempererat persatuan sesama kelompok dan juga sebagai sarana untuk lebih mengenal sifat dan kepribadian lawan yang berkonflik untuk menjadi acuan yang lebih positif untuk mengikat kekerabatan yang lebih baik di kemudian hari.  Munculnya konflik karena di dasari oleh adanya persepsi mengenai perbedaan kepentingan. Maka setiap orang yang terlibat di dalam konflik harus berupaya untuk  menciptakan konflik tersebut tidak mengarah kepada konflik fisik apalagi untuk saling mengalahkan dan melemahkan dan jangan memandang konflik sebagai sesuatu yang negatif. Konflik tidak semata-mata untuk hal-hal yang negatif, tetapi konflik bisa bermanfaat untuk tujuan terjadinya perubahan sosial. Dengan konflik, terjadilah  rekonsiliasi atas berbagai kepentingan yang terjadi, banyak konflik yang tidak berakhir dengan kemenangan di salah satu kelompok dan kekalahan pada kelompok lain, tetapi kemenangan itu terjadi pada kedua kelompok yang berkonflik dan dengan konflik di temukan kesepakatan yang bersifat integratif yang menguntungkan kedua belah pihak. Konflik harus dikelola untuk mempererat persatuan dan kesatuan. Konflik yang terjadi harus berakhir kepada kebaikan hidup bersama.
Strategi politik dalam penyelesaian masalah di berbagai komunitas masyarakat adalah persoalan kebiasaan dan pilihan. Setiap pilihan yang diambil seharusnya selalu mempertimbangkan kesesuaian budaya dan lingkungan dimana resolusi itu dipergunakan. Colleta, berpendapat bahwa : Salah satu sarana yang paling efektif untuk berkomunikasi dengan massa yang tengah berkonflik adalah dengan menggunakan saluran-saluran pengaruh informal tradisional masyarakat setempat. Peran kepemimpinan informal tradisional ini memang tidak selalu diakui secara resmi oleh pemerintah, namun peran-peran tersebut telah berurat-berakar dalam kebudayaan asli dan memperoleh legitimasinya berdasarkan faktor-faktor tradisi. Dengan demikian, pendapat Colleta tersebut menegaskan bahwa dalam mengatasi konflik tidak hanya mengandalkan pendekatan yang bersifat administratif dan struktural tetapi juga perlu memperhatikan saluran-saluran pengaruh pemimpin informal yang keberadaannya di tengah-tengah masyarakat sangat dihormati dan disegani.
Kekerasan adalah : Suatu tindakan yang dilakukan dengan  melanggar peraturan yang ada serta membiarkan sesuatu itu terjadi yang seharusnya tidak boleh terjadi. Kekerasan adalah pelanggaran terhadap aturan dan norma hukum yang ada.
Dimensi-dimensi kekerasan :
1.      Fisis dan Psikhologis : Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam bentuk kebohongan, indoktrinasi atau ancaman.
2.      Positif dan negatif : Segala perbuatan yang menjadikan orang lain tidak bebas, dengan kata lain perbuatan dengan memberikan imbalan, hadiah atau gratifikasi yang dilakukan dengan sengaja untuk membuat orang lain terikat/tidak bebas.
3.      Dengan atau tanpa objek : penyebaran-penyebaran informasi bohong yang bertujuan untuk mengganggu ketenangan dalam masyarakat.
4.      Dengan atau tanpa Subjek : tindakan yang dilakukan melalui struktur masyarakat untuk memberi peluang bagi penguasa memerintah dengan cara otoriter.
5.      Sengaja atau tidak : upaya yang dilakukan oleh orang tertentu dengan memanfaatkan celah-celah yang ada untuk kepentingan diri sendiri tanpa sepengetahuan pemegang kekuasaan.
6.      Tampak dan tersembunyi : sikap demagog yang dibangun melalui pendidikan yang menghasut dan membangun kebencian pada etnis, budaya dan keyakinan yang ada dalam masyarakat.
Kekerasan personal bersifat dinamis, mudah diamati, dan memperlihatkan fluktuasi hebat, sedangkan kekerasan struktural bersifat statis, dan tidak selalu tampak jelas. Dalam masyarakat yang statis, kekerasan personal cenderung mendapat perhatian, sementara kekerasan struktural dianggap wajar, seperti udara di sekitar kita; kita berada di dalamnya dan menghirupnya tanpa sadar.
Ada dua cara yang ditempuh model  kekerasan personal, yaitu;
1)      Cara anatomis; merusak anatomi (mesin) manusia agar tidak berfungsi
2)      Cara fisiologis; meniadakan apa yang masuk dan keluar .
Sedangkan kekerasan struktural menciptakan ketidaksamaan atau diskriminasi.

 Kedua model kekerasan ini juga berhubungan satu sama lain, hal ini berarti bahwa:
1)      Satu jenis kekerasan bisa menimbulkan dan mendukung jenis kekerasan lain
2)      Satu jenis kekerasan perlu atau memadai untuk menghapus jenis kekerasan lainnya.

Berdasarkan arti pertama: Kekerasan Struktural (KS) menimbulkan Kekerasan Personal (KP). Misalnya, budaya korupsi bisa menimbulkan koruptor dan maling. Atau, orang yang diuntungkan dalam struktur mempertahankan struktur itu dengan memanfaatkan kekuasaan. Berdasarkan arti kedua, beberapa kemungkinan bisa saja terjadi: KS bisa menghapus KP; tetapi untuk jangka terbatas, bukan untuk jangka panjang. Karena itu, KS tidak diperlukan untuk menghapus KP.
Perdamaian hanya bisa tercapai kalau kedua jenis kekerasan itu dihilangkan. Tidak mungkin melakukan satu kekerasan untuk menghapuskan kekerasan lain. Kekerasan hanya bisa dihilangkan tanpa kekerasan.
Galtung mendefinisikan perdamaian sebagai tidak adanya kekerasan, baik kekerasan personal maupun kekerasan struktural. Dengan demikian, terciptalah keamanan dan keadilan sosial, yang berarti sikap anti kekerasan harus dibangun secara pribadi (mikro) dan secara struktural (makro). Oleh karena itu perlu mengembangkan kepribadian yang: 1) mampu mendengar, 2) mampu mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, 3) mampu menghadapi masalah dengan kepala dingin, 4) mampu menghindari kekerasan dan mampu memaklumi, dan 5) santun dan adil dalam menghadapi perbedaan, tanpa kekerasan.
Multikulturalisme ingin membangun masyarakat harmonis yang bukan tanpa konflik, melainkan tanpa kekerasan. Tentu saja, yang dimaksud konflik di sini adalah konflik yang konstruktif, bukan yang destruktif, karena konflik yang destruktif itu sudah termasuk dalam kekerasan. Tindakan kekerasan terhadap sesama manusia tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Kekerasan selalu merupakan tindakan yang merugikan bahkan menghancurkan, bagi pihak pelaku maupun bagi pihak korban. Konflik-konflik kekerasan hanya menghasilkan kehancuran bagi semua pihak “yang menang jadi arang, yang akalah jadi abu”.
Kekerasan adalah tindakan yang jauh dari perilaku beradab. Padahal, perilaku beradab adalah penanda kemanusiaan. Hal yang penting adalah menjadi orang baik dan bukan sekedar melakukan perbuatan baik. Model etika ini yang membuat orang bisa berpikir bahwa suatu perbuatan itu baik bukan karena dilakukan orang baik, melainkan karena tujuannya baik. Karena itu, muncul pandangan utilitarisme (berorientasi pada hasil) yang lebih bersifat teleologis (memperhatikan tujuan), bersanding dengan etika deontologist (berorientasi pada kewajiban).
Keadilan seringkali juga menjadi tuntutan untuk keharmonisan hidup bersama, maka tidak jarang tuntutan keadilan mengambil bentuk kekerasan. Seolah-olah, tuntutan akan keadilan bisa membenarkan tindakan kekerasan. Dalam masyarakat multikulturalistik, keadilan harus disertai dengan keberadaban; kesetiaan, kejujuran, cinta, kebebasan, dan kesetaraan juga harus dilakukan dengan cara yang beradab. Keadilan tanpa keberadaban akan menjadi tindakan balas dendam yang keji. Kebebasan tanpa keberadaban akan menjadi sama dengan keliaran makhluk infra-human. Begitu juga, keseteraan tanpa keberadaban akan menjadi tindakan sewenang-wenang dan paksaan otoriter, yang mengabaikan suara hati manusia.
Multukulturalistik tidak mungkin dibangun di atas kekerasan karena kekerasan adalah tindakan ekstrem dari kebebasan yang justru menafikan kebebasan itu sendiri dan menuntut kesetaraan yang dibangun di atas paksaan. Padahal, kesetaraan pun tidak bisa dibangun di atas pondasi paksaan karena pengakuan kesetaraan sejati harus datang dari kebebasan yang dilakukan dalam ketulusan. Pengakuan kesetaraan yang dipaksakan hanya bisa terjadi di dalam hukum. Dan kalau pengakuan itu hanya dilakukan atas dasar hukum tanpa sentuhan etis, hal yang akan terjadi adalah pengakuan paksaan yang locus of control-nya ada di luar (paksaan hukum) dan bukan di dalam diri manusia (kesadaran etis).

2.      Multikulturalisme di Indonesia.
Kemajemukan bangsa Indonesia telah ada sejak dulu yang mana melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan keragaman suku bangsa, bahasa dan budaya yang ada di persada nusantara dan salah satu penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz di Indonesia berujung pada sebuah sebutan yang disematkan bagi masyarakat Indonesia sebagai new state of old societies. Karena Indonesia sering disebut sebagai bangsa yang majemuk (plural). Keanekaragaman adalah sebuah fakya yang harus disikapi dengan semangat multikulturalistik. Namun, istilah kemajemukan juga sering dianggap membawa masalah pada masyarakat Indonesia karena istilah itu hanya menggambarkan keanekaragaman budaya. Karena dianggap budaya cenderung terlepas satu dengan sama lain, dan malah terbuka peluang bagi sikap yang saling berseteru dan saling mendominasi. Akhirnya dikenal budaya  mayoritas dan minoritas yang didalamnya ada dominasi dari satu budaya terhadap budaya lainnya. Dampaknya antara lain tiap budaya akan memperebutkan tampuk pemerintahan karena kekuasaan negara akan serta merta berarti kekuasaan kelompok budaya. Slogan Bhineka Tunggal Ika yang bermaksud mempersatukan bangsa pun bisa dianggap sebagai slogan yang lebih menyerukan kondisi kemajemukan ketimbang kondisi multikulturalistik. Masalah-masalah konflik antar komunitas masyarakatpun dirujuk pada pluralitas ini. Ciri masyarakat plural (majemuk) adalah terdiri dari berbagai macam budaya, tetapi ada budaya yang dominan dan ada budaya yang kurang dominan. Suku-suku dan kelompok etnis yang beranekaragam itu hidup dalam wilayah politik yang sama, berbaur dalam wilayah publik seperti pasar, tetapi hidup dalam sekat budayanya masing-masing.
Dalam sejarah kemajemukan ini dimanfaatkan oleh kolonialisme untuk melancarkan politik adu domba yang pernah memporak porandakan bangsa Indonesia pada saman dahulu. Karena Belanda merangkul komunitas etnis atau agama tertentu sebagai sekutunya dan komunitas atau kelompok etnis yang lain dihadapi sebagai musuh. Dampaknya, batas-batas dan sekat antar etnis dan kelompok yang dibangun Belanda pada akhirnya diwariskan dan cenderung membentuk semacam sikap mental yang tetap bertahan sampai masa setelah kemerdekaan.  Konflik seperti di atas masih tetap terjadi dengan esensi yang sama hanya bentuk yang berbeda, maka tugas kita adalah membangun masyarakat multikulturalistik yang memerdekakan sekaligus mempersatukan.  Kemerdekaan tanpa persatuan sebenarnya hanya kemerdekaan semu karena sesungguhnya kita masih terkungkung oleh belenggu permusuhan dan saling mendominasi satu sama lain. Indonesia lebih menjadi negara majemuk (pluralistik) ketimbang negara multikulturalistik. Kemajemukan atau pluralitas itu lebih mengacu pada keberagaman entah budaya, etnis, atau status. Sebagai bangsa, kita hidup bersama dalam satu negara, tetapi kita tetap hidup dalam batas-batas budaya masing-masing. Model masyarakat kita lebih mendekati konsep “bowl of salad” daripada “melting pot”. Dalam konsep bowl of salad, masyarakat plural hidup bersama, tetapi tetap mempertahankan sekat-sekat yang menunjukkan identitas budaya masing-masing. Sedangkan melting pot, budaya-budayanya yang mengalami perjumpaan dalam sebuah masyarakat akan dilebur menjadi satu budaya baru.
Kedua konsep di atas masing-masing memiliki konsekuensi-konsekuensi yang akan dihadapi secara buruk pula. Maka konsep yang dianggap tepat untuk Indonesia  menurut Parsudi Suparlan adalah mosaik. Kebudayaan bangsa adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah yang bersama-sama membentuk satu mosaik yang indah. Dengan demikian konflik-konflik kekerasan harus dihindari bukan karena rentannya masalah SARA,  melainkan karena perbedaan-perbedaan dalam SARA itu sering dimanfaatkan untuk kepentingan lain.  Maka, gerakan multikulturalisme tidak bisa menjadi gerakan tunggal, tetapi menyangkut gerakan dalam segala aspek kemanusiaan. Kesetaraan dan keadilan dalam bidang hukum, ekonomi, politik, sosial dan agama. dalam masyarakat dengan kesenjangan kaya-miskin, sangat sulit untuk membangun masyarakat yang multikulturalistik. Sehingga diperlukan sebuah gerakan untuk membongkar struktur masyarakat yang menjadi tempat bercokolnya kesenjangan ini yang sesungguhnya adalah gerakan multikulturalistik.
Menjadi plural dan menjadi multikultural adalah dua hal yang sangat berbeda secara fundamental. Perbedaan keduanya berdasar atas pandangan masing – masing terhadap perbedaan. Bukan tentang bahwa salah satunya menghargai perbedaan atau tidak, namun masing – masing paham memberikan penghargaan pada praktik-praktik budaya dalam tipe yang berbeda. Menjadi multikultural berarti menghargai praktik – praktik kebudayaan yang etis, sedangkan menjadi plural adalah sebaliknya. Kebudayaan yang bagaimana seharusnya dihargai, bagaimana dan sejauhmana seseorang harus menghargainya dipahami betul oleh orang – orang multikultural. Dengan prinsip bowl of salad, para insan multikultur memberi batasan anggun mengenai bagaimana menjadi multikultur – pahami, hargai, jangan mengusik praktik budaya orang lain, namun tetap mengusung karakter budaya sendiri.
“Mengusik kepercayaan dan praktik budaya orang lain” sepertinya adalah karakter khas lawan makna dari multikultural, yaitu plural. Terang saja, masyarakat plural justru menghargai praktik – praktik budaya yang taketis, yang tak berbanding lurus pada prinsip dasar kemanusiaan yaitu hak azasi. Dalam satu wilayah dengan masyarakat majemuk namun tidak multikultur, muncullah istilah mayoritas dan minoritas, bukan hanya dalam segi jumlah namun juga kekuasaan ideologi. Mayoritas akan memaksa minoritas untuk mengikuti pemahaman mayoritas. Sayangnya mengikuti pemahaman berarti meninggalkan kepercayaan dan praktik budaya sebelumnya. Kebenaran hanya milik mayoritas sehingga yang tidak sama dengan mayoritas harus juga mengikuti kebenaran tersebut. Suatu kelompok mayoritas yang menganggap kepercayaan mereka lebih baik dari pada kepercayaan kelompok lain sehingga berujung kepada pemaksaan untuk mengikuti kepercayaannya mereka disebut mayoritas yang monis, dengan paham yang disebut monisme. Dalam kejadian seperti ini konstitusi negarapun tunduk pada kekuasaan ideologi tersebut, dalam artian, negara kerap tidak memiliki cukup kekuatan untuk melindungi hak – hak azasi warga negaranya terutama dalam hal keyakinan dan kebiasaan. Jika mayoritas menganggap satu keyakinan sesat atau satu praktek budaya itu salah maka negara akan (cenderung) menetapkan hal yang sama. Padahal, pada dasarnya negara tak memilikiwewenang untuk mengatur kepercayaan warga negaranya, apalagi mampu menyatakan sah atau tidak sah, benar atau sesat pemahamannya.
Kepercayaan seseorang bukanlah sesuatu yang bisa ditetapkan benar salahnya secara empiris karena bersifat non faktual. Jika perhitungan matematika sangatlah faktual karena langsung terlihat benar salahnya, kepercayaan seseorang adalah susunan ide yang beragam, sangat kompleks dan dependan sehingga tidak bisa disamaratakan dengan kepercayaan orang lain. Berbicara tentang Indonesia yang hanya mengakui enam agama dan tidak mengakui kepercayaan – kepercayaan nenek moyang yang banyak bertebaran di pelosok – pelosok negerinya masih membuat Indonesia hanya menjadi plural, namun belum multikultur. Banyak kepercayaan nenek moyang yang tidak diakui tersebut memiliki sistem yang baik dan tidak merugikan. Contohnya saja suku Badui di Jawa Barat yang masih menjalankan kepercayaan nenek moyangnya yang sangat ramah pada alam. Namun sayangnya, masyarakat Indonesia yang mengusung kepercayaan nenek moyangnya “dipaksa” secara halus untuk memeluk salah satu dari enam agama yang ditetapkan agar tidak melanggar apa yang kebanyakan orang sebut konstitusi, yang sebenarnya tidak beretika. Padahal, menurut pemaparan sebelumnya, hal itu tidak boleh terjadi. Memeluk keyakinan sesuai keinginan pribadi adalah sebuah hal esensial yang dimiliki setiap orang dan tidak boleh melalui paksaan. Memaksa seseorang untuk memeluk suatu kepercayaan hanya akan berdampak buruk pada dirinya dan orang lain. Pemilihan suatu keyakinan seharusnya didasari oleh Internal Locus Control atau kendali pribadi, bukan External Locus Control, atau dalam kendali orang lain. Beragama dalam kendali orang lain hanya membuat seseorang taat beragama jika diawasi orang lain saja, beragama dengan kendali pribadi akan membuat seseorang menjadi insan spiritual yang tulus karena jalan spiritual yang Ia pilih adalah sesuai kehendaknya. Dengan kata lain, tidak seorangpun dalam satu negara bisa menyatakan bahwa kepercayaan seseorang itu salah dan memaksa orang lain untuk ikut kepercayaannya.
Negara hanya boleh bertindak jika sebuah kepercayaan telah mengganggu ketertiban umum dan bersifat kriminal. Misal saja bunuh diri masal yang dilaksanakan oleh Sekte Ordo Kuil Matahari yang berpusat di Swiss dan atau pengeboman yang kerap dilakukan oleh kelompok – kelompok yang mengatas namakan agama tertentu. Hal – hal tersebut tentu bisa mengancam stabilitas negara dan negara berhak untuk memberikan tindakan sesuai hukum kepada aktivitas – aktivitas tersebut. Di luar hal tersebut, negara tidak memiliki kewenangan untuk “mengurusi” kepercayaan warganegaranya, apalagi membentuk institusi yang mengatur terhadap hal tersebut. Institusi adalah ketetapan mutlak, kepercayaan adalah hal abstrak yang segala elemennya hanya mampu dipahami setiap individu yang memeluknya.
Latar belakang beragam kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, maka diwajibkan bagi setiap masyarakat untuk saling menghargai. Kemampuan untuk menghormati keragaman dan perbedaan di negara Indonesia yang plural menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar dan harus dimiliki oleh setiap warga negaranya, jika bangsa dan negara ini ingin tetap eksis. Untuk menumbuhkan kemampuan tersebut, jalur pendidikan informal, formal dan bangsa Indonesia dikenal Indonesia. Masyarakat yang anggotanya memiliki latar belakang budaya (cultural background) yang beragam. Sebagai bangsa yang majemuk, ditandai dengan banyak etnis, suku, agama, budaya dan kebiasaan di dalamnya. Disisi lain, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat multikultural non informal – merupakan media yang sangat strategis. Melalui jalur ini, pendidikan multikultural merupakan tema yang harus diangkat untuk menumbuhkan kemampuan untuk menghormati keragaman. Indonesia adalah negara multikultural dengan beragam suku, agama, adat istiadat, tradisi, dan ras. Keberagaman tersebut merupakan keunikan atau kekayaan kita sebagai bangsa, namun sekaligus dapat menjadi ancaman bagi kesatuan negara dan bangsa Indonesia. Perbedaan suku, budaya, ras, agama, dan adat istiadat sangat berpotensi memunculkan pertentangan antar komponen. Konflik dan kekerasan yang bernuansa agama, ras, dan etnis terjadi di berbagai wilayah tertentu di Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Papua. Krisis sosial budaya yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini juga dipicu oleh krisis ekonomi, moneter, dan euforia kebebasan paska ambruk-nya Rezim Soeharto –yang dinamai reformasi. Di era orde baru, Soeharto memaksakan ideologi monokulturalisme dengan dalih demi stabilitas negara dan bangsa. Hal ini menekan ekspresi kebudayaan masyarakat Indonesia yang sejatinya majemuk. Tekanan itu akhirnya meledak pada saat reformasi didengungkan. Ini semacam momen atau kesempatan untuk mengekspresikan segala macam bentuk kebebasan. Eforia kebebasan paska Orde Baru menjadi tak terkendali. Multikulturalisme di Indonesia, merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat ditolak bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dan lain – lain, sehingga secara sederhana bangsa Indonesia disebut masyarakat multikultural. Pada dasarnya, masyarakat multikultural yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri.Tentu saj hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam. Masyarakat dengan keanekaragaman yang sangat kompleks tersebut ada dalam satu lingkup negara, yakni Indonesia. Adanya berbagai perbedaan tersebut sering kali menjadi pemicu perpecahan dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu tatanan yang mendukung adanya perbedaan tersebut. 
Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa Indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu  melawan ketidak adilan para penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda. Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Hal ini kemudian dikenal sebagai cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme juga dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam sidang – sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun politik.  Kemudian, sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia, yakni pancasila, seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multi etnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini pelaksanaannya haruslah terbuka, bahwa pancasila memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik. Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial – politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.

C.      Simpulan.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa :
1.      Dalam membangun multikulturalistik, kekerasan  dalam bentuk apapun tetap tidak dapat dibenarkan karena merendahkan martabat manusia. Hal itu tidak berarti konflik-konflik harus dihindarkan dari masyarakat multikutralistik. Konflik-konflik sebagai tanda dinamika tetap diperlukan, tetapi harus berlangsung tanpa adanya kekerasan. Kekerasan akan melahirkan kehancuran bagi pihak-pihak yang berkonflik. Kalah jadi abu, menang jadi arang.

2.      Di Indonesia, Pancasila sebagai dasar negara tetap menjadi pedoman untuk menata masyarakat multikulturalistik. Masyarakat multikulturalistik di Indonesia akan menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas, martabat manusia, nilai-nilai etika dan moral, persatuan, kerukunan, toleransi, demokrasi, dan keadilan sosial. Tanpa nilai-nilai ini, masyarakat multikulturalistik di Indonesia akan sulit dibangun.

Komentar