Raja Kiri Raja Ampat : Pemikiran Kritis tentang Pembangunan, Manusia, dan Kebudayaan



MEMBANGKITKAN TRADISI YANG TELAH MATI
Hasrat spiritualitas dan moralitas kontemporer dalam Sasi sebagai bentuk Konservasi Perairan Raja Ampat



I.          PENDAHULUAN.
Kearifan lokal masyarakat Raja Ampat sebagai masyarakat nelayan lebih banyak dipraktekan pada kehidupan sebagai seorang penangkap ikan dilaut. Kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan lokal (local knowledge) seperti : tempat keramat, tempat sakral, tempat pamali dan sebutan lokal lain banyak ditemui di daerah Raja Ampat. Sebutan dan istilah di atas dikenal dan diyakini sebagai lokasi bersemayamnya roh-roh nenek moyang, asal-usul suku, bersemayamnya roh-roh orang mati karena manusia memiliki keyakinan akan adanya kekuatan gaib dalam hal-hal yang luar biasa dan yang menjadi sebab timbulnya  gejala-gejala yang tak dapat dilakukan oleh manusia biasa (Koentjaraningrat, 2009:60). Sehingga dalam praktek mata pencaharian mereka tempat itu dianggap area yang tidak boleh disentuh dan dimasuki dengan alasan apapun karena akan berdampak buruk dan menimbulkan bencana bagi masyarakat maupun individu yang melanggarnya. Selain situs dan area keramat secara tradisi diyakini menjadi ruang kendali dan ruang sakral masyarakat, ada pula sebuah praktek kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu kala yaitu sasi.
Sasi adalah bentuk kearifan lokal masyarakat pesisir dan masyarakat pulau di Raja Ampat dimana kearifan ini dilakukan untuk mengsakralkan suatu wilayah atau tempat dalam kurun waktu tertentu.  Dalam tesis Mcleod (2007) didefinisikan bahwa:
 “Sasi is an Ambonese-Malay term which likely derives from the Malay word “saksi” meaning “to witness” or “witness”. Sasi laut refers to rules and regulations controlling marine resources and includes restrictions on fishing gear,  species  harvested,  time  of  harvest,  location  of  harvest,  and  who  is  allowed  to harvest  natural  resources  (Bailey  and  Zerner  1991;  Zerner  1994;  Ruddle  1994).

 Maksud dilakukannya sasi adalah agar wilayah itu tidak dimasuki oleh siapapun sehingga ikan, teripang, dan jenis-jenis biota yang ada dilokasi itu dapat berkembang biak dengan baik dan pada waktunya dipanen mencukupi untuk dijual dan dari hasil penjualan itu digunakan bagi kepentingan pembangunan sebuah rumah ibadah, syukuran hari-hari gerejani atau hari raya lainnya. Sasi dilakukan pada wilayah tertentu dengan luasan yang tidak terlalu besar dan hanya dilakukan dalam bentuk ritual-ritual tradisional dengan pelibatan anggota masyarakat tertentu dalam sebuah kampung. Tiap kampung melakukan sasi dengan kepentingan yang beragam, waktu yang variatif dan dalam tiap kegiatan prosesi ritual sasi ini lebih banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh adat.
Tradisi sasi ini kemudian lambat laut ditinggalkan dan mulai mengadopsi praktek-praktek menangkap ikan dengan teknologi modern yang menawarkan efektifitas dan efisiensi bagi masyarakat tanpa memperdulikan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan masyarakat. Kerusakan terumbu karang, padang lamun dan biota laut yang rusak akibat cara menangkap ikan dengan bom, racun dan potasium tidak menjadi pertimbangan bagi nelayan lokal. Keberlangsungan sumber daya laut tidak dipertimbangkan untuk generasi masa depan di kampung-kampung Raja Ampat. Fenomena ini menjadi suatu potret dan gambaran perubahan besar dalam masyarakat adat Raja Ampat sebagai masyarakat nelayan yang sejak dahulu menjaga hubungan yang harmonis kehidupannya dengan alam terutama kehidupan pesisir dan perairan. Perubahan-perubahan sosial dan budaya yang terjadi disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah interaksi masyarakat lokal yang intens dengan orang luar, adanya hasrat dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan yang semakin kompleks mendorong masyarakat untuk beradaptasi dan menerima perubahan bawaan orang luar ke daerahnya. Oleh sebab itu perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi didalam atau mencakup sistem sosial atau lebih tepatnya terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan (Sztompka, 2010:3). Perubahan ini nampak nyata dari hilangnya tradisi lokal (local tradition) seperti kearifan yang dianut kelompok manusia nelayan di Raja Ampat.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi pada masyarakat Raja Ampat menyebabkan kegiatan sasi telah ditinggalkan karena masyarakat Raja Ampat dalam interaksinya dengan nelayan dari luar seperti : Buton, Bugis, Makasar, Ternate dan Tidore dan nelayan asal Sorong yang telah menggunakan alat tangkap modern dan mendapatkan hasil dalam jumlah yang banyak dan cepat mendorong masyarakat lokal untuk beradaptasi dan mulai menggunakan cara-cara dari nelayan luar, menangkap ikan dengan bom, potasium dan racun ikan menjadi suatu kebiasaan yang sering dilakukan. Masyarakat memberikan ruang dan tempat menangkap ikan yang dahulu dianggap sebagai lokasi keramat dan tempat sakral kepada nelayan dari luar untuk menangkap ikan dilokasi tersebut. Kondisi ini terjadi karena dorongan dari dalam diri masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin kompleks dan juga tawaran kehidupan modern melalui modernisasi dan sifat konsumsi atas produk-produk modernitas yang semakin mengikat hasrat masyarakat untuk memperolehnya.
Babak baru kehidupan masyarakat di Raja Ampat terjadi saat daerah ini dijadikan sebagai suatu kabupaten baru. Kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten Sorong pada tahun 2002, menjadi tonggak awal perubahan dan perkembangan pesat daerah ini. Dengan kekayaan-kekayaan sumber daya alam perairan dan multikultur masyarakat Raja Ampat menjadikan daerah ini telah melejit sangat cepat terkenal pada tingkat nasional dan internasional dibandingkan dengan  kabupaten lain yang dimekarkan bersamaan.
“The lost paradisea on earth” atau “surga terakhir di bumi” dijadikan slogan sakral yang telah menghipnotis setiap orang bahwa Raja Ampat dengan kekayaan bahari yang dimiliki adalah satu-satunya surga terakhir di bumi bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan sorgawi bawah laut. Hasrat untuk mengembalikan, mengatur dan mengelola kerusakan dan keberlangsungan terumbu karang, ikan karang, padang lamun dan moluska yang berada di perairan Raja Ampat agar surga itu tetap melekat pada kabupaten Raja Ampat, maka pemerintah gencar dan bergerak cepat menggandeng berbagai pihak diantaranya lembaga swadaya masyarakat yang peduli lingkungan seperti : CI (conservation international), TNC (The Nature Conservation), dan lembaga konservasi lokal yang intens mendorong terciptanya sebuah budaya baru yang disebut dengan budaya konservasi di seluruh perairan Raja Ampat dengan dalih menyelamatkan sumberdaya perairan laut demi masa depan generasi Raja Ampat. Sistem zonasi yang ditetapkan melalui aturan negara dalam hal ini pemerintah daerah dan pusat telah menguasai sebagian besar perairan Raja Ampat dan dengan gerakan-gerakan moralitas kontemporer wilayah konservasi perairan di daerah ini mencapai kurang lebih 1,1 juta hektar, namun ternyata masih juga mendapatkan tantangan dari luar terutama nelayan yang menggunakan teknologi tangkap modern berkolaborasi dengan nelayan lokal untuk melanggengkan usaha-usaha penangkapan ikan pada daerah-daerah yang berdasarkan aturan tidak boleh dilakukan namun kenyataannya masih tetap saja dilakukan penangkapan.
Oleh sebab itu, upaya dari para pemangku kepentingan seperti: pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM konservasi, peneliti, dan investor pariwisata mulai menggali dan membangkitkan kembali tradisi sasi yang telah mati sebagai salah satu kearifan lokal untuk digunakan dalam melakukan upaya konservasi partisipasi masyarakat pada perairan Raja Ampat dengan balutan dan kemasan adat dan agamis.

II.       FENOMENA KEGIATAN SASI DALAM PANDANGAN MASYARAKAT TRADISIONAL RAJA AMPAT.
Kabupaten Raja Ampat merupakan satu-satunya kabupaten kepulauan dengan luas 46.108 km2 berdasarkan Undang-Undang No. 26/2002, dengan jumlah distrik awal sebanyak 13 distrik (Profil Raja Ampat). Sebutan untuk Raja Ampat yang paling lazim adalah kabupaten bahari karena memiliki luas lautan lebih dominan dibandingkan dengan luas daratan. Kondisi geografis yang didominasi oleh lautan menjadikan masyarakat Raja Ampat memiliki mata pencaharian utama nelayan dan mata pencaharian sampingan adalah meramu, bercocok tanam, berburu dan pangkur sagu atau tokok sagu.
Kearifan-kearifan lokal (local wisdom) telah dihidupkan dan hidup bersama dengan masyarakat adat Raja Ampat sebagai suatu spirit kehidupan dalam membangun harmonisasi dan komunikasi sakral dengan alam lingkungannya. Kearifan dalam pemanfaatan sumber daya perairan untuk keperluan hidup sehari-hari masih bersifat subsisten, pemenuhan kebutuhannya masih bersifat sederhana, luas area tangkap ikan dengan teknologi penangkapnya masih sangat sederhana. Misalnya untuk menangkap ikan mereka menggunakan tali genemo yang dibuat sedemikian rupa seperti nilon dan cacing sebagai umpannya, area tangkap hanya berada pada wilayah perkampungannya dan tidak membutuhkan waktu dan jarak tempuh yang lama. Alat tangkap lain yang disebut bubu adalah alat tangkap yang dibuat dari tali rotan yang dibentuk seperti keranjang dengan ukuran tertentu dan diletakkan di dalam sungai atau tempat karang dengan maksud untuk menjadi perangkap ikan ketika ikan masuk dan bersembunyi didalamnya. Penangkapan ikan lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan jika lebih biasanya diberikan atau dibagikan kepada kerabat terdekat yang memiliki hubungan kekerabatan atau menukarkannya dengan bahan lain yang tidak dimiliki. Sistem ini biasanya disebut sistem barter. Sistem barter dilakukan pada lingkup terbatas dengan alat tukar yang monoton atau benda-benda kebutuhan sehari hari. Dalam Pattiselano dan Mentansan (2010) dinyatakan bahwa “kearifan tradisional digunakan untuk menciptakan keteraturan dan keseimbangan antara kehidupan sosial, budaya dan kelestarian sumber daya alam”. Sehingga praktek-praktek di atas merupakan wujud nyata dari kearifan tradisional (traditional wisdom) tersebut.
Dalam transaksi dan interaksi sosial budaya yang dilakukan pada lingkungan masyarakat nelayan menjadikan berbagai bentukan-bentukan tradisi yang dipraktekkan secara terus-menerus yang disebut dengan adat-istiadat atau kebudayaan oleh para ahli antropologi. Secara antropologis kebudayaan disebutkan sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia  dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 2009: 144). Definisi lain menurut Menurut Hoed (2011:5), Kebudayaan dilihat oleh semiotik sebagai “suatu sistem tanda yang berkaitan satu sama lain dengan cara memahami makna yang ada di dalamnya. Keterkaitan itu bersifat konvensional”. Berbeda dengan pemahaman kebudayaan yang dilontarkan oleh para tokoh Cultural Studies. Kebudayaan tidak mendapatkan suatu pengertian yang optimal pada kajian budaya sebagaimana pada bidang ilmu Antropologi namun konsep kebudayaan sangat penting dalam cultural studies. Hal ini nampak dalam Barker (2009:37), bahwa ketika mendeskripsikan kebudayaan sebagai ‘satu atau dua atau tiga kata yang paling rumit dalam bahasa Inggris’ (Williams, 1983).
Kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat bahari Raja Ampat adalah kebudayaan masyarakat pelaut dan pelayar. Disebutkan demikian karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara tradisional sangat bergantung pada sumber daya perairan dan daratan sebagai penunjang pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kearifan-kearifan lokal itu timbul dari interaksi dan aktivitas masyarakat dengan ekosistem dominan mereka, maka kearifan lokal seperti sasi merupakan suatu tradisi khas kelompok masyarakat yang hidup di daerah kepulauan dan pesisir dengan mata pencaharian utama adalah nelayan atau menangkap ikan dilaut.
Sasi merupakan suatu istilah baru yang dibawa oleh para penyiar agama kristen dari Maluku. Kegiatan sasi ini dilakukan dan didorong oleh para pendeta yang bertugas di daerah Raja Ampat karena suatu kepentingan untuk mendapatkan uang dalam menunjang pembangunan gereja dan menopang pelayanan para pendeta. Sasi ini dilakukan karena para pendeta melihat potensi ikan, teripang dan biota laut di pemukiman masyarakat begitu melimpah namun tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya karena mereka masih menganut sistem subsistem. Justru sebaliknya potensi sumber daya perairan yang melimpah itu dimanfaatkan oleh para tengkulak dan nelayan dari luar untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Teknologi penangkapan yang lebih modern namun merusak seperti potasium, bom, jaring dan pukat yang mudah digunakan, hasil yang lebih banyak, menyebabkan masyarakat mulai beradaptasi dan mengadopsi teknik-teknik penangkapan ikan secara modern. Tempat-tempat sakral dan tempat keramat yang sejak dahulu dianggap sebagai tempat yang tidak boleh dimasuki dan disentuh oleh masyarakat, mulai digerus dan dikikis karena ternyata pada tempat-tempat yang dianggap keramat, pamali, sakral, memiliki potensi sumber daya ikan dan biota laut yang sangat baik sehingga nelayan lokal dan luar masuk pada lokasi tersebut. Ketakutan dan kepatuhan atas tempat-tempat sakral dan keramat itu sudah mulai pudar dan telah berani untuk memasukinya sehingga kesakralan daerah tersebut telah berkurang dan hilang .
Akibat dari penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem perairan di kampung-kampung membuat hasil tangkapan nelayan menjadi berkurang, terumbu karang rusak, dan ikan mulai sulit diperoleh. Para tokoh agama terutama para pendeta mengalami kesulitan dalam mengumpulkan biaya dengan memanfaatkan sumber daya perairan masyarakat karena selain telah berkurang, peran gereja sudah mulai pudar karena diambil alih dan dikuasai oleh para tengkulak dan pedangang ikan dari luar Raja Ampat, maka kegiatan sasi digunakan sebagai salah satu upaya mengambil alih peran dan kontrol sosial yang telah mulai pudar terutama dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dan perairan untuk kepentingan gereja dan pendeta. Tokoh gereja dan tokoh adat yang berkolaborasi mendorong terbentuknya suatu kegiatan sasi untuk menjaga ekosistem perairan, memenuhi kebutuhan pelayanan dan pembangunan gereja, juga merupakan suatu upaya membangkitkan rasa takut dan segan pada lokasi-lokasi yang telah dilarang dengan menggunakan kesakralan agamis. Agama dengan doktrinnya yang dilekatkan pada kegiatan sasi diharapkan dapat menimbulkan rasa takut dan ketidakberanian dalam memasuki daerah yang di sasi.
Masyarakat tradisional Raja Ampat memandang bahwa Sasi yang dilakukan oleh tokoh adat dan tokoh gereja pada masa lalu merupakan suatu upaya untuk menjaga alam sekitar hidupnya dan juga sebagai bentuk dapur dan lumbung makanan bagi masyarakat walaupun Sasi ini dilakukan karena pihak gereja terutama para pendeta memiliki kepentingan yang kuat dalam sasi itu yaitu, agar dengan kegiatan sasi dapat tercukupinya potensi sumber daya laut yang dapat dimanfaatkan untuk menopang pembangunan sarana prasarana gereja dan pelayanan pemberitaan injil. Masyarakat Raja Ampat berpandangan bahwa karena sasi yang dalam prosesinya melibatkan tokoh agama dan ritualnya menggunakan ayat-ayat kitab suci, maka ada ketakutan dan keseganan untuk memasuki wilayah yang telah disasi dengan anggapan bahwa jika mereka melakukan pelanggaran pada lokasi yang disasi berdampak buruk bagi individu dan keluarganya. Sehingga kearifan lokal dalam bentuk sasi dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan adat yang sangat sakral dan penting dalam kehidupan masyarakat tradisional Raja Ampat.

III.    LOGIKA KEBUTUHAN KEGIATAN SASI SEBAGAI BENTUK KONSERVASI PERAIRAN RAJA AMPAT.
 Kabupaten Raja Ampat memiliki 4 (empat) pulau besar yaitu, pulau Waigeo, Misool, Salawati dan Batanta, serta 610 pulau kecil yang tersebar pada 70 persen perairan dan 30 persen adalah daratan. Dengan luas lautan yang lebih dominan menyebabkan kekayaan sumber daya dasar laut dan biota, moluska dan terumbu karang begitu endemik dan unik yang dibuktikan dengan hasil-hasil penelitian para ilmuwan bahwa di Raja Ampat memiliki 1.104 jenis ikan, 699 jenis moluska (hewan lunak) dan 537 jenis hewan karang, multikulturalistik budaya manusia Raja Ampat juga menjadikan kekayaan itu sempurna. Surga terumbu karang, surga terakhir di bumi dan berbagai slogan-slogan lainnya disematkan bagi daerah yang berada di bagian barat kepala burung provinsi Papua Barat ini menjadi nyata dan bukan sebuah isapan jempol belaka.
Dengan kekayaan di atas yang merupakan anugerah Tuhan yang Maha Kuasa bagi Raja Ampat, mesti dipelihara dan dijaga kesinambungannya karena melalui potensi sumber daya alam perairan ini menjadi satu-satunya sumber pendapatan daerah bagi Raja Ampat.  Sektor pariwisata menjadi sektor andalan yang dikembangkan dalam memanfaatkan potensi perairan Raja Ampat. Industri pariwisata merupakan salah satu industri terbesar di dunia karena banyak menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan bahkan memberikan kontribusi terbesar pada produk domestik bruto suatu negara.  Sektor pariwisata merupakan salah satu lokomotif perekonomian Raja Ampat dan merupaikan sumber pendapatan asl daerah (PAD), selain sektor perikanan. Dengan demikian pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan fondasi dasar dalam pengembangan pariwisata Raja Ampat yang hanya memanfaatkan kekayaan sumber daya alam perairan sebagai modalnya. Istilah pembangunan pariwisata berkelanjutan menjadi trend dan syarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagaimana yang diungkapkan oleh Anom (2010:4) bahwa “pembangunan pariwisata berkelanjutan sudah menjadi jargon atau slogan yang selalu terucapkan dalam setiap diskusi tentang pembangunan, baik dikalangan akademis maupun praktisi”. Salah satu aspek penting dalam pembangunan pariwisata Raja Ampat adalah pemasaran atau promosi. Maka promosi ke dunia luar menjadi rintisan utama untuk menjual surga terumbu karang terakhir Raja Ampat di bumi. Surga terakhir di bumi wajib di pasarkan karena “ pemasaran memainkan peranan sangat penting dalam pariwisata karena pelanggan jarang melihat, merasa atau mencoba produk yang akan dibelinya. Untuk dapat menilai produk seseorang harus bepergian ke tempat tujuan” (Becherel dan Vellas, 2008:13).
Namun, dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masyarakatnya, ternyata berdampak pada kerusakan surga terakhir di bumi ini, surga bagi para penyelam menjadi terkikis karena perilaku penangkapan ikan oleh masyarakat nelayan dari luar Raja Ampat dengan teknik penangkapan ikan yang lebih modern dan tidak ramah lingkungan. Misalnya dengan racun, potasium dan bom yang menyebabkan kerusakan ekosistem perairan. Perlakuan ini ternyata juga dipraktekkan oleh masyarakat lokal sendiri yang mengadopsi cara-cara penangkapan ikan yang merusak lingkungan sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat pendatang.
Guna mengatasi dan menanggulangi kerusakan surga di bumi ini, pemerintah pusat, daerah dan beberapa LSM konservasi mulai berkompromi untuk melakukan sistem kawasan konservasi perairan daerah atau disingkat KKPD. Tidak tanggung-tanggung perairan Raja Ampat telah dikonservasi dalam 7 (tujuh) Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) seperti kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Misool, Kofiau, Teluk Mayalibit, Ayau, Selat Dampier (Perbup Raja Ampat),  dan 1 (satu) Suaka Alam Perairan (SAP) yang dikelola oleh Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) yang berkantor di Kupang (Profil KKPN SAP Raja Ampat).
Sistem zonasi kemudian merupakan sebuah budaya modern yang dilakukan di perairan Raja Ampat dengan harapan sistem zonasi ini dapat menjadi model pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perairan secara arif dan bijaksana dalam mengurangi kerusakan ekosistem perairan Raja Ampat karena perilaku tangkap masyarakat yang tidak ramah lingkungan. Sistem zonasi dibentuk dengan berbagai zona seperti zona inti yang merupakan wilayah yang sama sekali tidak boleh diganggu atau dimasuki, zona pemijahan yang merupakan tempat bertelurnya biota laut dan zona pemanfaatan yang merupakan tempat yang boleh digunakan oleh masyarakat. Tujuan dilakukannya sistem zonasi ini agar masyarakat pesisir dan pulau di Raja Ampat dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan mengetahui lokasi zonasi dan dapat mematuhinya guna mengurangi kerusakan dan memperbaiki kerusakan terumbu karang akibat pola tangkap masyarakat yang merusak lingkungan. Tidak tanggung-tanggung luas area zonasi ini telah mencapai 1, 1 juta hektar. Namun, ternyata sistem zonasi yang dilakukan di perairan ini tidak luput dari masalah penangkapan dan pengambilan hasil laut dengan cara yang merusak lingkungan. Nelayan lokal berani untuk mengambil ikan dengan cara-cara yang merugikan lingkungan dan berafiliasi dengan nelayan dari luar untuk memasuki zona-zona yang telah ditetapkan di atas tanpa kecuali zona larang tangkap dan pemijahan.
Oleh karena itu, sistem sasi ini kemudian dibangkitkan kembali sebagai konservasi berbasis kearifan lokal dengan harapan perlindungan laut dilakukan oleh partisipasi aktif masyarakat lokal demi masa depan generasinya. Kegiatan sasi (penutupan wilayah penangkapan untuk sementara) mulai digalakkan di daerah pemukiman penduduk pada masyarakat-masyarakat plural dan multietnis dalam balutan ritual agamis. Artinya pelibatan tokoh agama dan tokoh masyarakat menjadi garda terdepan dalam mengisiasi prosesi pelaksanaan sasi di wilayahnya masing-masing. SASI dengan ritual agama kristen diyakini akan menimbulkan efek ketakutan yang tinggi karena melalui ayat-ayat Firman Tuhan yang digunakan dalam melakukan sasi berdampak besar bagi masyarakat yang melakukan pelanggaran atau mengambil hasil laut pada lokasi yang di sasi. Pada poros ini masyarakat Raja Ampat sedang digiring pada :

kristogenesi”  yaitu manusia berada dalam proses ‘amorisasi’ menuju kesatuan baru yakni iman dan ilmu tidak bertentangan, melainkan harmonis. Ilmu mendukung agama dan agama mendukung ilmu. Dalam kristus kita membangun suatu persaudaraan baru. Kita dipanggil untuk menjadi satu tubuh yakni Tubuh Mistik Kristus. Kristus adalah Pusat dan Sentrum seluruh alam semesta” Snijders (2013:202).

 Sanksi dari pelanggaran pada wilayah sasi diyakini biasanya berupa dosa, sakit parah dan bisa menimbulkan kematian sehingga ketakutan untuk melanggar cukup tinggi pada daerah yang telah dibuat sasi.


IV.    LOGIKA HASRAT YANG MELANDASI KEGIATAN SASI SEBAGAI BENTUK KONSERVASI PERAIRAN RAJA AMPAT.
Sasi sebagai kearifan lokal masyarakat pesisir dan pulau termasuk masyarakat Raja Ampat, dibangkitkan kembali pada ruang publik dengan hasrat agar kearifan yang pernah terkubur dan terlupakan oleh masyarakat terutama masyarakat lokal setempat, direinkarnasi dalam bentuk dan wujud yang lebih modern, dimana sasi ini digunakan untuk suatu tujuan yang secara rasional dan logis dapat diterima karena merupakan suatu tindakan budaya untuk menjaga harmonisasi kehidupan manusia dan alam, manusia dengan sumber kehidupan dan menjamin terpenuhinya kantong-kantong makan dari masyarakat setempat. Memimjam istilah Bourdieu (2010:xiv-xvii) yaitu ‘habitus dan arena’ untuk menjelaskan fenomena ini. Sasi digunakan sebagai senjata ‘logika permainan’(feel for the game), sebuah ‘rasa praktis’ (practical sense) yang mendorong agen-agen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak bisa dikalkulasikan sebelumnya, dan bukan sekadar kepatuhan sadar pada aturan-aturan. Ia lebih mirip seperangkat disposisi yang melahirkan praktik dan persepsi. “ Arena” dalam sasi di masyarakat Raja Ampat terutama tokoh adat dan agama sebagai agen-agen tidak bertindak dalam ruang hampa, melainkan di dalam situasi-situasi sosial konkret yang diatur oleh seperangkat relasi sosial yang objektif. Sasi dibangkitkan dengan suatu ritual yang berslogankan konservasi oleh para penguasa dan disakralkan melalui suatu tindakan religi agama modern, hukum negara. Negara menjadi sutradara dan aktor utama dalam tindakan ini seperti yang diungkapkan oleh Gramsci (2003:136-137) dalam teori hegemoninya yang salah satunya menggagas tentang kepentingan ekonomi, negara (political society), dan masyarakat sipil (civil society) menjadi dasar negara memegang peranan dan kuasa penuh untuk menghegemoni masyarakat dalam menjalankan tujuan dan ambisinya. Relasi kuasa ini telah menghegemoni masyarakat adat Raja Ampat karena dengan kuasa (power) yang dimiliki telah memantapkan barisannya dari hulu hingga hilir dari produk hukum sampai implementasi di masyarakat yang disebarkan melalui agen-agen perubahan yang memiliki kuasa (power) secara adat dan agama. tokoh-tokoh tersebut ditambah dengan tokoh pemerintah kampung diyakini memiliki kuasa untuk mempengaruhi sehingga mereka digunakan untuk menancapkan budaya Sasi sebagaimana yag diungkapkan oleh Giddens (2011: 18) bahwa “ ada dugaan bahwa menjadi agen berarti harus mampu menggunakan gugusan kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang disebarkan orang lain. Sasi sebagai sebuah bola  panas telah membakar dan membunuh ruang kebebasan masyarakat karena berdasarkan data empiris, kegiatan sasi telah dipraktekkan dan dijadikan sebagai bentuk konservasi tradisional yang bersanding mesra dengan bentuk konservasi modern yaitu sistem zonasi. Pasangan serasi ini ternyata diperkuat oleh pengakuan masyarakat dan secara sukarela masyarakat adat menyerahkan sebagian wilayah adatnya untuk dijadikan sebagai wilayah sasi dengan menyerang, menguasai dan mengendalikan logika masyarakat adat Raja Ampat. Penulis mencurigai bahwa Sasi ini digunakan sebagai sebuah bentukan wacana kearifan praktis sebagaimana yang diungkapkan oleh Paul Recoeur bahwa “kearifan praktis merupakan seni bertindak secara tepat ketika konflik-konflik muncul mengatasi prinsip-prinsip yang dijustifikasi secara komunikatif” Kaplan (2010:175-176). Sasi dijadikan seni dan  solusi pertama peran masyarakat dalam menjaga kekayaan sumber daya alam karena dengan kegiatan sasi masyarakat berpartisipasi aktif menjaga dan melindungi dan secara arif memanfaatkan dan mengelola potensi perikanan dan kelautannya termasuk pola pola penangkapan yang tidak merusak ekosistem laut.
Ketakutan dan kekawatiran akan kerusakan terumbu karang, biota laut dan moluska di perairan Raja Ampat. Ketakutan akan sirnanya klaim Raja Ampat sebagai “ The lost paradisea on earth” atau “ surga terakhir di bumi”, membuat berbagai pihak seperti pemerintah daerah, pemerintah pusat dan lembaga swadaya masyarakat lokal dan internasional berkongsi untuk mencari berbagai cara agar surga ini tidak sirna. Dalil-dalil melindungi sumber daya perairan Raja Ampat mulai dilakukan dengan pembentukan kabupaten baru di Raja Ampat. Dengan kekuasaan otoriter yang dimiliki oleh pemerintah daerah mulai mengundang dan mengajak pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan terutama di perairan Raja Ampat. Conservation Internasional (CI) dan The Nature Conservation (TNC) yang merupakan 2 (dua) aktor utama yang bergegas dan tancap gas menerima tawaran ini, relasi kuasa diantara ketiganya mulai diwujudkan dalam bentuk pencanangan kawasan konservasi di Raja Ampat dengan perjanjian adat yang dilakukan oleh masyarakat walaupun sebenarnya dimotori oleh ketiga aktor utama di atas yaitu: pemerintah, CI dan TNC. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama virus dan dominasi budaya konservasi ini telah menyerang dan mendapat posisi utama dalam logika masyarakat bahwa konservasi dalam wilayah perairan Raja Ampat menjadi sangat penting demi masa depan anak cucu orang Raja Ampat.
Ternyata dibalik pengukuhan dominasi dan hegemoni kuasa kapitalis ini, ketiga aktor ini telah mengambil keuntungan yang lebih banyak dibandingkan dengan apa yang diperoleh oleh masyarakat karena Pemerintah Daerah mendapat dukungan dana yang cukup besar dan program-program pembangunan berbasis perlindungan dan manajemen perikanan berkelanjutan dari Pemerintah Pusat. LSM lokal dan Internasional mendapat dukungan dana dari donatur internasional yang juga tidak kalah sedikit dengan menyebar isu-isu kerusakan dan ancaman masa depan bumi Raja Ampat sehingga dapat dengan leluasa melakukan kegiatan sosialisasi, pembentukan pos-pos konservasi, merekrut tenaga kerja lokal dan melakukan monitoring dengan teratur pada area kerja mereka. Satu pihak lagi yang menikmati keuntungan dari dominasi dan hegemoni kuasa budaya konservasi adalah investor pariwisata bahari di Raja Ampat. Mereka meraup keuntungan yang sangat besar dari kegiatan pariwisata di Raja Ampat sedangkan masyarakat lokal yang diwajibkan untuk membuat homestay ala Raja Ampat menjadi sepi dan lesu karena para wisatawan dikendalikan oleh pengusaha pariwisata bermodal besar. Wilayah tangkap mereka pun menjadi lebih terbatas karena adanya wilayah zonasi yang telah mencapai 1,1 juta hektar, wilayah sasi sebagai kebangkitan baru kearifan lokal yang membuat masyarakat dikebiri kebebasan melakukan penangkapan ikan sebagai mata pencaharian utamanya. Investor pariwisata yang telah menguasasi sebagian besar pulau dan lokasi-lokasi strategis yang dahulu dijadikan area penangkapan ikan, tempat rekreasi masyarakat dan ritual tradisional telah dikuasai dan melarang masyarakat setempat untuk beraktivitas di tempat tersebut, sehingga masyarakat lokal Raja Ampat dapat dikatakan hidup dalam “ neraka pertama di Raja Ampat”.

V.       SIMPULAN.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.      Masyarakat adat Raja Ampat merupakan masyarakat tradisional yang hidupnya sangat akrab dan harmonis dengan alam terutama alam laut dan perairan sehingga kearifan lokal (local wisdom)  dan pengetahuan tradisional (local knowledge) tumbuh dan berkembang serta terpelihara dengan baik pada masyarakatnya seperti Sasi.
2.      Sasi sebagai kearifan lokal (local wisdom) masyarakat lokal Raja Ampat pernah hidup dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian mereka sebagai nelayan namun mati dengan adanya interaksi dengan dunia luar terutama nelayan yang memperkenalkan teknologi tangkap modern.
3.      Kerusakan ekosistem perairan sebagai akibat model penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan membuat pemangku kepentingan seperti:Pemerintah Daerah, LSM, industri pariwisata) mencari solusi dan langkah terbaik menanggulangi bencana kerusakan tersebut maka lahirlah budaya konservasi perairan Raja Ampat dengan sistem zonasi.
4.      Dalil melindungi dan menjamin masa depan generasi baru Raja Ampat 1000 tahun lagi, maka Sasi dibangkitkan kembali sebagai kearifan lokal pengelolaan dan manajemen perairan yang berbasiskan masyarakat lokal dengan harapan mereka menjadi garda terdepan dalam perlindungan dan pengelolaan surga terumbu karang terakhir di bumi.
5.      Permainan kapitalisme dalam relasi kuasa dan hegemoni negara, LSM dan Investor Pariwisata begitu sarat dan menggigit masyarakat lokal untuk melakukan konservasi berbasis Sasi guna meraup keuntungan yang sangat besar dari ketidakberdayaan masyarakat lokal Raja Ampat.

Komentar